Mari Bangun Pertanian Organik Indonesia Berbasis Komunitas, dengan Menumbuhkembangkan Ekonomi Kreatif di tengah masyarakat, Maju Petani Indonesia. Bangun Pertanian Organik dari Desa Bersama cv. GHM Farm Tech, Manado, Sulawesi Utara-Indonesia

Rabu, 28 April 2010

Sampah dan Lingkungan


Antisipasi Masalah Lingkungan Perkotaan

By; Asrul Hoesein, Pendiri Gerakan Indonesia Hijau


Dalam membahas berbagai masalah perkotaan, khususnya masalah lingkungan yang akhir-akhir ini terasa semakin kompleks, rumit, dan semakin mendesak untuk segera diselesaikan. Kita semua memang perlu terus menerus berupaya guna menanggulangi persoalan perkotaan yang semakin pelik tersebut. Oleh karena itu, justru itu perlu kiranya memicu para pihak, baik pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan para pakar untuk melahirkan ide-ide segar yang dapat diterapkan guna menyelesaikan persoalan perkotaan mulai dari pengangguran, kemiskinan, polusi udara, persampahan dan lainnya di Indonesia, khususnya dalam mengatasi pencemaran lingkungan.


Sekitar setengah populasi dunia hidup di perkotaan, padahal setengah abad yang lalu hanya sepertiga penduduk tinggal di kota. Diperkirakan sekitar seperempat abad mendatang penduduk perkotaan akan menjadi dua pertiga di seluruh belahan dunia ini. Beban kota akan semakin berat manakala pengangguran dan kemiskinan masih mewarnai kehidupan kota. Urbanisasi dan segala dampaknya (terutama terhadap lingkungan hidup) adalah suatu konsekuensi pilihan pembangunan yang berorientasi pada kota atau dikenal dengan terminologi Urban Bias (Lipton, 1997). Hal ini sebagaimana yang diramalkan pula oleh pemikir terkemuka pertengahan abad 19, Karl Polanyi, yaitu apa yang dikenal sebagai the Great Transformation.


Urbanisasi adalah konsekuensi logis dari konsep pembangunan yang sematamata mengejar pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dimana terjadi akumulasi sentra-sentra pertumbuhan. Urbanisasi di negara maju pada umumnya diiringi oleh pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, namun berbeda halnya dengan negara berkembang. Di Afrika, lebih dari 70% penduduk perkotaannya hidup di daerah kumuh yang rentan terhadap lingkungan. Kualitas air yang buruk dan tidak layaknya sanitasi adalah biasa ditemukan di daerah kumuh yang dapat menyebabkan berbagai penyakit yang terkait dengan air. Salah satu contoh adalah Diare, yaitu suatu penyakit yang merupakan pembunuh kedua dari anak dan diperkirakan menyebabkan 12 % kematian anak balita di negara berkembang dengan laju 1,3 juta tiap tahunnya. Kondisi ini diperparah dengan polusi udara, yaitu sekitar 2 juta anak balita mati tiap tahunnya akibat infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Belum lagi masih buruknya penanganan sampah; serta banjir yang seringkali menelan banyak korban.


Kondisi perkotaan yang masih sangat memprihatinkan ini menyebabkan pada tahun 2005 yang lalu, United Nations Environment Programme (UNEP) menetapkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan tema Green Cities, Plan for the Planet!. Tema tersebut sampai saat ini masih relevan dan dapat dijadikan momentum lagi bagi upaya-upaya kita untuk mengatasi permasalahan lingkungan perkotaan sekaligus membangun kota-kota di Indonesia secara berkelanjutan.


Gambaran umum status lingkungan hidup perkotaan di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas dari 32 sungai besar di 33 provinsi sudah tidak memenuhi kriteria mutu air untuk air baku air minum serta terjadi pendangkalan dan penyempitan sungai. Selain daripada itu sering terjadi banjir, ironinya, pada musim kemarau terjadi juga penyusutan luas permukaan air dan defisit air. Hal ini terutama disebabkan oleh berubahnya fungsi daerah resapan di hulu Contohnya Citra Landsat tahun 2001 menunjukan telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5 % dari ketentuan mengenai penataan ruang kawasan Bogor-Puncak–Cianjur. Sementara itu, kualitas udara di daerah perkotaan terutama kota besar cenderung semakin tidak sehat, terutama disebabkan kendaraan bermotor dengan konsumsi pertumbuhan konsumsi BBM sekitar 7%. Kondisi ini diperparah oleh kemacetan, yang menurut salah satu studi menyebutkan telah terjadi pemborosan konsumsi BBM sedikitnya 20% yang selanjutnya menyebabakan meningkatnya pencemaran udara. Lebih lanjut, kondisi persampahan rata-rata di Indonesia juga masih buruk. Hal ini terlihat dari sebagian besar kota yang masih kotor. Menurut data BPS (2001), kurang dari 2% sampah yang diolah atau di daur ulang, serta hanya sekitar 40% sampah diangkut, itu pun hanya sebagian yang dibuang ke TPA. Kondisi ratarata TPA di Indonesia masih buruk dan berpotensi menimbulkan permasalahan yang semakin sulit. Masalah sampah telah menjadi isu nasional, karena selain telah menelan korban jiwa yang cukup banyak dan menimbulkan konfliks social yang hingga kini masih belum dapat diselesaikan secara tuntas, ternyata dimensinya tidak hanya menyangkut aspek teknis, melainkan mencakup hubungan antar pemerintah daerah, kemiskinan penduduk, dan mindset para pengambil keputusan yang masih konvensional serta kepedulian dan komitmen kita semua yang masih lemah. Kita semua terkejut dan hampir tidak percaya sewaktu mendengar peristiwa Leuwigajah. Kitapun kembali kaget, heran dan ikut merasakan penderitaan para korban, sewaktu mendengar berita terjadinya peristiwa Bantar Gebang. Namun kenyataan hingga saat ini, kita semua belum beranjak dari perilaku lama yang menganggap urusan sampah adalah urusan gampang, cukup dibuang jauh dari halaman kita (end of pipe), masih terjebak pada syndrom NiMBY, serta masih terlena dengan pendekatan ke-proyekan.


Upaya mengatasi permasalahan perkotaan yang sedemikian pelik haruslah tetap dipandang dengan sikap optimis. Saat ini kita menyadari bahwa kita telah terlanjur pada pilihan pembangunan perkotaan yang kurang tepat. Dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan maka selayaknya Indonesia tidak harus mengikuti pola dari negara-negara maju. Kalaupun bukan yang pertama, Indonesia dapat menerapkan konsep pembangunan perkotaan berkelanjutan secara cerdas, holistik, inovatif dan partisipatif. Pada tatanan kebijakan, perlu dilakukan mainstreaming pembangunan berkelanjutan dalam setiap upaya pembangunan misalnya eksploitasi sumber daya alam dan pemanfaatan ruang yang berbasis ekologis, kampanye hemat energi dan energi alternative terbaharukan, serta mendorong terbangunnya infrastruktur lingkungan hidup diperkotaan, seperti sewerage system dan TPA berbasis usaha komunal. Sedangkan dalam tataran pelaksanaan, strategi yang ditempuh adalah dengan pengembangan sistem penaatan, baik dalam koridor penegakan hukum dan HAM maupun dengan cara persuasif inklusif (incentive mechanism). Penaatan norma lingkungan hidup dalam kerangka supremasi hukum dilakukan secara komprehensif, yaitu dengan konsisten menjalankan UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang berlandaskan pada prinsip-prinsip 3P; peningkatan pendayagunaan aparat (PPNS), prasarana dan sarana penegakan hukum lingkungan; serta pengembangan Jejaring Penegakan Hukum Lingkungan.

Seiring dengan peningkatan dan pengembangan penegakan hukum lingkungan maka, Kementerian Lingkungan Hidup telah menawarkan langkah inovatif melalui berbagai program. Dua program unggulan KLH, yaitu Langit Biru dan ADIPURA merupakan upaya strategis untuk mewujudkan lingkungan perkotaan yang berkualitas baik, sehat dan berkelanjutan. Program Langit Biru yang antara lain dilaksanakan melalui penggunaan bahan bakar dan penggunaan kendaraan yang berteknologi ramah lingkungan perlu diperluas dan didukung oleh semua pihak. Upaya yang dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas udara yang lebih baik (Better Air Quality) tersebut sungguh sangat nyata manfaatnya, karena dapat mengurangi dampak serius bagi kualitas / kesehatan manusia seperti menurunnya IQ, gejala autis dan anemia, kemandulan/keguguran dan agresivitas remaja. Tidak kurang pentingnya adalah peningkatan perhatian terhadap masalah kebisingan, karena secara nyata juga telah menimbulkan gangguan kejiwaan yang serius.

Awal abad XXI ini persoalan lingkungan telah bertambah semakin rumit. Persoalan lama masih banyak yang belum berhasil diselesaikan seperti sampah/MSW dan bencana alam yang telah menimbulkan dampak lingkungan, namun isu-isu baru (emerging issue) telah muncul, antara lain persoalan e-waste, B-3 dan perubahan iklim yang berdampak serius terhadap kesehatan manusia. Persoalan-persoalan baru tersebut telah menambah kerumitan permasalahan di kawasan perkotaan, karena sebagian besar sumbernya justru di wilayah perkotaan. Tuntutan hidup di perkotaan telah menimbulkan gaya hidup yang serba cepat dan menuntut penggunaan fasilitas modern seperti alat-alat elektrik dan elektronik serta konsumsi energi yang terus meningkat yang ternyata telah menimbulkan dampak negatip serius bagi kehidupan umat manusia. Upaya untuk mewujudkan clean land, clean water dan clean air di daerah perkotaan perlu terus dilakukan, karena kualitas lingkungan yang buruk telah menimbulkan dampak serius bagi kehidupan manusia. Salah satu hasil kajian menunjukkan bahwa akibat lingkungan yang buruk, masyarakat miskin Indonesia terpaksa harus membelanjakan dana yang sangat besar (sekitar 43 triliun rupiah) untuk biaya pengobatan yang semestinya dapat di dayagunakan untuk keperluan yang lebih produktip dan bermanfaat langsung bagi peningkatan kualitas kehidupannya.


catatan :

Bagi pemerintah Kab/Kota di Indonesia yang bermaksud mengelola TPS atau TPA dengan sistem se-desentralisasi> untuk negara kita (Indonesia) sistem ini yang paling ideal (pengelolaan melibatkan langsung masyarakat komunal) silakan kontak cv. GHM farm Tech, kami siap menginisiasi sistem sentralisasi desentralisasi (se-Desentralisasi) ini, dengan pola usaha (Inti Plasma) ..... Sekedar Ingat buat pemerintah Kab/Kota di Indonesia, bahwa sisa 7 tahun lagi, cara open dumping dalam pengelolaan sampah di TPA harus ditinggalkan (sebagaimana UU No.18 tahun 2008, tentang Pengelolaan Sampah). [rul_28042010.GIH_Lingkungan]


Segera hubungi kami :

Kontak person :

Ria Mailangkay (081277136729)

H.Asrul Hoesein (085215497331)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar