Mari Bangun Pertanian Organik Indonesia Berbasis Komunitas, dengan Menumbuhkembangkan Ekonomi Kreatif di tengah masyarakat, Maju Petani Indonesia. Bangun Pertanian Organik dari Desa Bersama cv. GHM Farm Tech, Manado, Sulawesi Utara-Indonesia

Sabtu, 01 Mei 2010

Tingkatkan Taraf Hidup Petani Melalui Otonomi Desa Mandiri


Tingkatkan Taraf Hidup Petani Melalui Otonomi Desa Mandiri


Oleh: H.Asrul Hoesein (PT. Cipta Visi Sinar Kencana)


Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pada tanggal 09 April 2010 telah mengambil kebijakan dalam sector pertanian/perkebunan yaitu dengan menaikkan harga pupuk anorganik (kimia) rata-rata 35 %. Apakah ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah atau malah sebaliknya membunuh petani secara perlahan ? Jawabannya bagi penulis adalah bahwa kebijakan itu pasti berdampak positif (baik) bagi petani dan keluarganya, bila kita mengambil hikmah didalamnya dan kenapa tidak. Bagi penulis bukan disana masalahnya bila hendak kita membangun atau meningkatkan tarap hidup petani. Tapi lebih dari pada itu, adalah perlunya pembangunan SDM yang didahului oleh perubahan paradigma, kebijakan dan program pembangunan pertanian (khususnya pangan) nasional yang harus lebih menyentuh harkat dan martabat petani. Bagi penulis, kenaikan tersebut tidak masalah, malah menjadi pendorong (motivasi) dalam pengembangan pertanian organic, artinya masyarakat (petani) harus kembali ke natural, berdayakan sumber local, pakai pupuk organic, bisa dengan mengolah sampah menjadi pupuk kompos. Solusi untuk itu silakan klik di sini, kami (PT. Cipta Visi Sinar Kencana) siap member solusi dan menuntun para petani, termasuk sharing dengan pemerintah kabupaten/kota dalam mengantisipasi masalah/peluang ini.


Namun disadari bersama bahwa pembangunan tidak dimulai dari barang tapi manusia: Pendidikan, organisasi dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen itu, semua sumberdaya tetap hanya akan terpendam, tak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.

Esensi kemerdekaan adalah terbebas dari kemiskinan, mengangkat harkat dan martabat, serta instrument menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak terkecuali derajat dan kesejahteraan para petani, yang umumnya tinggal dipedesaan, dengan mata pencaharian terbesar adalah petani/pekebun, yang merupakan pemain atau pelaku utama dalam pembangunan pertanian dan perkebunan. Namun, sejak kemerdekaan (lebih 60 tahun yang lalu, negeri super agraris Indonesia ini merdeka) hingga sekarang ini posisi para petani masih lemah dan termarjinalkan. Padahal, petani adalah soko guru swasembada, ketahanan dan kedaulatan pangan. Dalam arti luas, petani merupakan soko guru perekonomian nasional.


Bisa dibayangkan seandainya tidak ada petaniyang bekerja keras, bekerja sabar, bekerja ikhlas, siapa yang mau bersusah-payah menanam,menyemai, merawat dan memanen padi dan tanaman lainnya bagi kebutuhan makanan kita khususnya padi sebagai makanan pokok bangsa Indonesia dan bahkan makanan pokok sebagian besar warga dunia ? Bisa jadi, jika tidak ada petani, kita akan mengalami krisis pangan, dan bahkan tragedi kelaparan.

Tapi, mengapa kehidupan petani, yang bekerja tanpa kenal lelah dan tanpa kenal waktu tersebut, semakin hari, semakin miskin saja ? Jawabannya, karena cara pandang (paradigma) terhadap pertanian hanya sebatas budidaya komoditi primer. Paradigmanya sangat sempit, arah kebijakan dan program pembangunan pertanian nasional juga susah dicerna di tingkat bawah, hanya atau juga menjadi parsial, campur baur (blending) serta belum menyentuh harkat, martabat dan kesejahteraan para petani.


Sejauh ini, pembangunan pertanian nasional hanya sebatas melihat pertanian sebagai sebuah komoditi (barang). Bukan manusia (petani) sebagai motor penggeraknya. Akibatnya, petani hanya menjadi obyek dan bukan subyek pembangunan pertanian. Alhasil, nasib serta harkat dan martabat para petani juga hanya diukur dari harga komoditi yang dihasilkan. Celakanya, komoditi yang dihasilkan oleh para petani selalu dihargai relative rendah. Makanya, nasib dan kehidupan mereka terus terpuruk. Semua ini karena kembali ke paradigm tadi lebih diperparah lagi, pemerintah kurang mengarahkan petani untuk mengelola produksi pasca panen (off farm). Problem ini, disamping problem lainnya yang sesungguhnya yang harus kita jawab bersama, demi meningkatkan taraf hidup para petani menuju Indonesia Mandiri Pangan.


Peluang untuk menumbuhkembangkan ketahanan pangan melalui diversifikasi pertanian tanaman pangan (sebagian besar petani menggeluti pertanian tanaman pangan) mendapatkan momentum yang bagus seiring dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah (Otda) yang bergulir sejak tahun 1999, berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dijelaskan bahwa daerah (kabupaten/kota) memiliki kewenangan menyangkut kebijakan pembangunan di daerah. Yang lebih menjanjikan dari UU tersebut, bahwa desa tidak hanya sebagai penyelenggara administrasi negara dibawah pemerintahan kabupaten/kota namun juga sebagai komunitas mandiri. Pemerintah pusat dan daerah tidak lagi campur tangan secara langsung melainkan lebih banyak bertindak sebagai fasilitator.


Kebijakan otonomi daerah tidak hanya member harapan bagi perubahan paradigma pembangunan yang sentralistis menjadi desentralistis dan demokratis, tapi juga mencakup “Otonomi Desa Mandiri”, dimana pemerintahan desa bisa memainkan peran utama dalam proses pembangunan, termasuk pembangunan pertanian. Semua ini artinya bahwa melalui otonomi desa, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota telah mengembalikan hak yang di masa lampau telah dirampasnya. Namun semua ini, ikhlaskah pelepasan itu ? Bila ya, berarti harus juga turut serta menuntun serta membimbing masyarakatnya (khususnya petani) dalam meningkatkan pola pikir serta pola tindak (SDM) dalam pembangunan pertanian di pedesaan, begitu pula diharapkan peran serta lembaga social non pemerintah termasuk perusahaan demi pengembangan atau produktivitas hasil pertanian/perkebunan.


Hakikat yang terkandung dalam otonomi desa adalah kewenangan dalam mengelola segenap sumber daya desa agar bisa memperoleh pendapatandan memenuhi kebutuhannya. Mengacu pada konsep Sustainable Livelihood, sumberdaya atau asset desa meliputi: sumberdaya alam (lahan pertanian, sungai dan hutan), sumberdaya manusia (tenaga kerja, pengetahuan dan keterampilan, dsb), social (organisasi, peraturan, kemitraan atau jaringan), infrastruktur (jalan, pengairan atau saluran irigasi, pasar, dsb), serta keuangan (sumber dana, system pasar, dsb). Semua ini perlu kiranya para petani mendapat bimbingan demi memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki tersebut. Jangan mereka menjadi penonton, atau hanya membicarakan (wacana) akan asset tersebut. Asset itu harus diberdayakan dan dimanfaatkan oleh para petani sesuai peruntukannya. Karena tanpa bimbingan dari pemerintah dan swasta termasuk LSM/NGO mustahil para petani dapat memanfaatkannya. Mulai sekarang mari kita bangun pertanian dari desa.


Sumberdaya desa yang beranekaragam merupakan asset masyarakat desa yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhannya. Selain asset desa tersebut diatas, asset yang terpenting bagi perkembangan pembangunan otonomi desa adalah asset sosial . Pada pemerintahan desa-desa tradisional terbukti bahwa dengan menempatkan pola kerja gotong-royong dan penggalangan dana swadaya, otonomi desa dapat dikembangkan. Prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat keputusan-keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah desa. Peran berbagai organisasi desa seperti Kelompok Tani, Gapoktan, Badan Perwakilan Desa, Kelompok Perempuan, Organisasi Sosial Desa, Organisasi Kampung, Kelompok Simpan Pinjam, Kelompok Pedagang, dsb. Cukup penting dalam proses pengambilan keputusan. Pilihan tersebut diambil guna menciptakan ruang bagi peran masyarakat dalam proses pembangunan, tak terkecuali atau khususnya dalam bidang pembangunan pertanian yang mengarah pada produksi pasca panen, bukan hanya petani mengetahui atau hanya puas pada produksi primer, tapi harus diarahkan atau diadakan pendampingan untuk produksi pasca panen.


BUMN menjadi BUMR/BUMP.


Terkhusus dan diharapkan atau saatnya sekarang demi kemandirian dan kesejahteraan masyarakat (petani). Pemerintah pusat perlu mendorong berdirinya atau tumbuh berkembangnya Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) atau Badan Usaha Milik Petani (BUMP), yang merupakan institusi ekonomi baru sebagai wujud transformasi system usaha tani yang konvensional-tradisional menjadi pola korporasi (corporate design), guna meningkatkan peran petani dari hanya sebagai buruh menjadi pengelola sekaligus pemilik lahan/usaha. BUMR atau BUMP adalah badan usaha dalam bentuk perseroan terbatas (PT) sebagai wadah para petani dalam menjalankan usaha pertanian/perkebunan secara korporasi, berkelompok atau bermitra (bentuk jejaring). Dalam menjalankan usaha pertanian/perkebunan, petani/pekebun diajak menjadi pengusaha/entrepreneur dimana pada akhirnya diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka (petani dan keluarganya). Dalam merealisir program tersebut diharapkan BUMN yang bergerak khususnya dalam bidang pertanian/perkebunan sebaiknya melibatkan masyarakat sekitarnya sebagai pemilik lahan/usaha (seperti perkebunan Tebu, Teh, dll) atau bentuk BUMP misalnya penggilingan padi, peternakan, industri pupuk organic, dll. Untuk mendapat penjelasan tentang hal ini secara detail, baca penjelasan Bapak Agus Pakpahan, Deputi Menteri Negara BUMN tentang BUMP dalam buku “Pertanian Masa Depan Kita”, sinergi BUMN dalam BUMP, Penulis : Budut W.Andibya, Editor: Yoyok Widoyoko, Penerbit Gibon Jakarta, Tahun 2009.


Sejalan dengan prinsip tersebut, maka pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota serta pemerintah desa sesuai kewenangannya, harus menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiasi, fasilitator, serta regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing demi pembangunan pertanian di Indonesia, terlebih nantinya dalam pembangunan pertanian organic Indonesia, karena tanpa hal tersebut mustahil Indonesia dapat berperan serta dalam pembangunan pertanian dunia. Indonesia harus menampakkan nyalinya selaku negara agraris di dunia.


Sekaitan dengan hal itu, maka kebijakan pangan nasional menjadi paying kebijakan pangan daerah untuk selanjutnya diaplikasikan ke desa agar tercipta desa otonomi mandiri. Jadi seharusnya kebijakan pangan daerah menjadi komponen utama dalam kebijakan pangan nasional. Kebijakan pangan nasional harus menjamin sinergi kebijakan antar-daerah (pelaksanaan regional management menuju regional marketing) sehingga tidak ada kebijakan yang merugikan daerah lain, atau khususnya daerah sekitarnya, intinya saling menguntungkan diantaranya. Untuk itu pemerintah memberikan pedoman, norma, standar, criteria yang harus ditaati pemerintah daerah, melakukan pemantauan dan pengendalian untuk menjaga sinergi pembangunan antar-daerah dan mengarahkan proses pembangunan pada tujuan bersama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.


Dalam mensiasati pembangunan yang berorientasi pada otonomi desa mandiri, demi peningkatan taraf hidup, harkat dan martabat petani Indonesia, diharapkan masyarakat (petani) dalam memilih pemimpin daerahnya (sesuai harapan otonomi daerah itu sendiri) harus selektif dan secerdas mungkin karena otonomi daerah memang dibutuhkan pemimpin yang pro-pertanian (Ingat…. Indonesia adalah negeri super agraris), serta perlu adanya lembaga yang mampu memberdayakan dan mensejahterahkan kehidupan para petani dan keluarganya. Hidup petani Indonesia, maju pertanian organic Indonesia.