Mari Bangun Pertanian Organik Indonesia Berbasis Komunitas, dengan Menumbuhkembangkan Ekonomi Kreatif di tengah masyarakat, Maju Petani Indonesia. Bangun Pertanian Organik dari Desa Bersama cv. GHM Farm Tech, Manado, Sulawesi Utara-Indonesia

Sabtu, 01 Mei 2010

Tingkatkan Taraf Hidup Petani Melalui Otonomi Desa Mandiri


Tingkatkan Taraf Hidup Petani Melalui Otonomi Desa Mandiri


Oleh: H.Asrul Hoesein (PT. Cipta Visi Sinar Kencana)


Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pada tanggal 09 April 2010 telah mengambil kebijakan dalam sector pertanian/perkebunan yaitu dengan menaikkan harga pupuk anorganik (kimia) rata-rata 35 %. Apakah ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah atau malah sebaliknya membunuh petani secara perlahan ? Jawabannya bagi penulis adalah bahwa kebijakan itu pasti berdampak positif (baik) bagi petani dan keluarganya, bila kita mengambil hikmah didalamnya dan kenapa tidak. Bagi penulis bukan disana masalahnya bila hendak kita membangun atau meningkatkan tarap hidup petani. Tapi lebih dari pada itu, adalah perlunya pembangunan SDM yang didahului oleh perubahan paradigma, kebijakan dan program pembangunan pertanian (khususnya pangan) nasional yang harus lebih menyentuh harkat dan martabat petani. Bagi penulis, kenaikan tersebut tidak masalah, malah menjadi pendorong (motivasi) dalam pengembangan pertanian organic, artinya masyarakat (petani) harus kembali ke natural, berdayakan sumber local, pakai pupuk organic, bisa dengan mengolah sampah menjadi pupuk kompos. Solusi untuk itu silakan klik di sini, kami (PT. Cipta Visi Sinar Kencana) siap member solusi dan menuntun para petani, termasuk sharing dengan pemerintah kabupaten/kota dalam mengantisipasi masalah/peluang ini.


Namun disadari bersama bahwa pembangunan tidak dimulai dari barang tapi manusia: Pendidikan, organisasi dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen itu, semua sumberdaya tetap hanya akan terpendam, tak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.

Esensi kemerdekaan adalah terbebas dari kemiskinan, mengangkat harkat dan martabat, serta instrument menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak terkecuali derajat dan kesejahteraan para petani, yang umumnya tinggal dipedesaan, dengan mata pencaharian terbesar adalah petani/pekebun, yang merupakan pemain atau pelaku utama dalam pembangunan pertanian dan perkebunan. Namun, sejak kemerdekaan (lebih 60 tahun yang lalu, negeri super agraris Indonesia ini merdeka) hingga sekarang ini posisi para petani masih lemah dan termarjinalkan. Padahal, petani adalah soko guru swasembada, ketahanan dan kedaulatan pangan. Dalam arti luas, petani merupakan soko guru perekonomian nasional.


Bisa dibayangkan seandainya tidak ada petaniyang bekerja keras, bekerja sabar, bekerja ikhlas, siapa yang mau bersusah-payah menanam,menyemai, merawat dan memanen padi dan tanaman lainnya bagi kebutuhan makanan kita khususnya padi sebagai makanan pokok bangsa Indonesia dan bahkan makanan pokok sebagian besar warga dunia ? Bisa jadi, jika tidak ada petani, kita akan mengalami krisis pangan, dan bahkan tragedi kelaparan.

Tapi, mengapa kehidupan petani, yang bekerja tanpa kenal lelah dan tanpa kenal waktu tersebut, semakin hari, semakin miskin saja ? Jawabannya, karena cara pandang (paradigma) terhadap pertanian hanya sebatas budidaya komoditi primer. Paradigmanya sangat sempit, arah kebijakan dan program pembangunan pertanian nasional juga susah dicerna di tingkat bawah, hanya atau juga menjadi parsial, campur baur (blending) serta belum menyentuh harkat, martabat dan kesejahteraan para petani.


Sejauh ini, pembangunan pertanian nasional hanya sebatas melihat pertanian sebagai sebuah komoditi (barang). Bukan manusia (petani) sebagai motor penggeraknya. Akibatnya, petani hanya menjadi obyek dan bukan subyek pembangunan pertanian. Alhasil, nasib serta harkat dan martabat para petani juga hanya diukur dari harga komoditi yang dihasilkan. Celakanya, komoditi yang dihasilkan oleh para petani selalu dihargai relative rendah. Makanya, nasib dan kehidupan mereka terus terpuruk. Semua ini karena kembali ke paradigm tadi lebih diperparah lagi, pemerintah kurang mengarahkan petani untuk mengelola produksi pasca panen (off farm). Problem ini, disamping problem lainnya yang sesungguhnya yang harus kita jawab bersama, demi meningkatkan taraf hidup para petani menuju Indonesia Mandiri Pangan.


Peluang untuk menumbuhkembangkan ketahanan pangan melalui diversifikasi pertanian tanaman pangan (sebagian besar petani menggeluti pertanian tanaman pangan) mendapatkan momentum yang bagus seiring dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah (Otda) yang bergulir sejak tahun 1999, berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dijelaskan bahwa daerah (kabupaten/kota) memiliki kewenangan menyangkut kebijakan pembangunan di daerah. Yang lebih menjanjikan dari UU tersebut, bahwa desa tidak hanya sebagai penyelenggara administrasi negara dibawah pemerintahan kabupaten/kota namun juga sebagai komunitas mandiri. Pemerintah pusat dan daerah tidak lagi campur tangan secara langsung melainkan lebih banyak bertindak sebagai fasilitator.


Kebijakan otonomi daerah tidak hanya member harapan bagi perubahan paradigma pembangunan yang sentralistis menjadi desentralistis dan demokratis, tapi juga mencakup “Otonomi Desa Mandiri”, dimana pemerintahan desa bisa memainkan peran utama dalam proses pembangunan, termasuk pembangunan pertanian. Semua ini artinya bahwa melalui otonomi desa, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota telah mengembalikan hak yang di masa lampau telah dirampasnya. Namun semua ini, ikhlaskah pelepasan itu ? Bila ya, berarti harus juga turut serta menuntun serta membimbing masyarakatnya (khususnya petani) dalam meningkatkan pola pikir serta pola tindak (SDM) dalam pembangunan pertanian di pedesaan, begitu pula diharapkan peran serta lembaga social non pemerintah termasuk perusahaan demi pengembangan atau produktivitas hasil pertanian/perkebunan.


Hakikat yang terkandung dalam otonomi desa adalah kewenangan dalam mengelola segenap sumber daya desa agar bisa memperoleh pendapatandan memenuhi kebutuhannya. Mengacu pada konsep Sustainable Livelihood, sumberdaya atau asset desa meliputi: sumberdaya alam (lahan pertanian, sungai dan hutan), sumberdaya manusia (tenaga kerja, pengetahuan dan keterampilan, dsb), social (organisasi, peraturan, kemitraan atau jaringan), infrastruktur (jalan, pengairan atau saluran irigasi, pasar, dsb), serta keuangan (sumber dana, system pasar, dsb). Semua ini perlu kiranya para petani mendapat bimbingan demi memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki tersebut. Jangan mereka menjadi penonton, atau hanya membicarakan (wacana) akan asset tersebut. Asset itu harus diberdayakan dan dimanfaatkan oleh para petani sesuai peruntukannya. Karena tanpa bimbingan dari pemerintah dan swasta termasuk LSM/NGO mustahil para petani dapat memanfaatkannya. Mulai sekarang mari kita bangun pertanian dari desa.


Sumberdaya desa yang beranekaragam merupakan asset masyarakat desa yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhannya. Selain asset desa tersebut diatas, asset yang terpenting bagi perkembangan pembangunan otonomi desa adalah asset sosial . Pada pemerintahan desa-desa tradisional terbukti bahwa dengan menempatkan pola kerja gotong-royong dan penggalangan dana swadaya, otonomi desa dapat dikembangkan. Prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat keputusan-keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah desa. Peran berbagai organisasi desa seperti Kelompok Tani, Gapoktan, Badan Perwakilan Desa, Kelompok Perempuan, Organisasi Sosial Desa, Organisasi Kampung, Kelompok Simpan Pinjam, Kelompok Pedagang, dsb. Cukup penting dalam proses pengambilan keputusan. Pilihan tersebut diambil guna menciptakan ruang bagi peran masyarakat dalam proses pembangunan, tak terkecuali atau khususnya dalam bidang pembangunan pertanian yang mengarah pada produksi pasca panen, bukan hanya petani mengetahui atau hanya puas pada produksi primer, tapi harus diarahkan atau diadakan pendampingan untuk produksi pasca panen.


BUMN menjadi BUMR/BUMP.


Terkhusus dan diharapkan atau saatnya sekarang demi kemandirian dan kesejahteraan masyarakat (petani). Pemerintah pusat perlu mendorong berdirinya atau tumbuh berkembangnya Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) atau Badan Usaha Milik Petani (BUMP), yang merupakan institusi ekonomi baru sebagai wujud transformasi system usaha tani yang konvensional-tradisional menjadi pola korporasi (corporate design), guna meningkatkan peran petani dari hanya sebagai buruh menjadi pengelola sekaligus pemilik lahan/usaha. BUMR atau BUMP adalah badan usaha dalam bentuk perseroan terbatas (PT) sebagai wadah para petani dalam menjalankan usaha pertanian/perkebunan secara korporasi, berkelompok atau bermitra (bentuk jejaring). Dalam menjalankan usaha pertanian/perkebunan, petani/pekebun diajak menjadi pengusaha/entrepreneur dimana pada akhirnya diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka (petani dan keluarganya). Dalam merealisir program tersebut diharapkan BUMN yang bergerak khususnya dalam bidang pertanian/perkebunan sebaiknya melibatkan masyarakat sekitarnya sebagai pemilik lahan/usaha (seperti perkebunan Tebu, Teh, dll) atau bentuk BUMP misalnya penggilingan padi, peternakan, industri pupuk organic, dll. Untuk mendapat penjelasan tentang hal ini secara detail, baca penjelasan Bapak Agus Pakpahan, Deputi Menteri Negara BUMN tentang BUMP dalam buku “Pertanian Masa Depan Kita”, sinergi BUMN dalam BUMP, Penulis : Budut W.Andibya, Editor: Yoyok Widoyoko, Penerbit Gibon Jakarta, Tahun 2009.


Sejalan dengan prinsip tersebut, maka pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota serta pemerintah desa sesuai kewenangannya, harus menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiasi, fasilitator, serta regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing demi pembangunan pertanian di Indonesia, terlebih nantinya dalam pembangunan pertanian organic Indonesia, karena tanpa hal tersebut mustahil Indonesia dapat berperan serta dalam pembangunan pertanian dunia. Indonesia harus menampakkan nyalinya selaku negara agraris di dunia.


Sekaitan dengan hal itu, maka kebijakan pangan nasional menjadi paying kebijakan pangan daerah untuk selanjutnya diaplikasikan ke desa agar tercipta desa otonomi mandiri. Jadi seharusnya kebijakan pangan daerah menjadi komponen utama dalam kebijakan pangan nasional. Kebijakan pangan nasional harus menjamin sinergi kebijakan antar-daerah (pelaksanaan regional management menuju regional marketing) sehingga tidak ada kebijakan yang merugikan daerah lain, atau khususnya daerah sekitarnya, intinya saling menguntungkan diantaranya. Untuk itu pemerintah memberikan pedoman, norma, standar, criteria yang harus ditaati pemerintah daerah, melakukan pemantauan dan pengendalian untuk menjaga sinergi pembangunan antar-daerah dan mengarahkan proses pembangunan pada tujuan bersama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.


Dalam mensiasati pembangunan yang berorientasi pada otonomi desa mandiri, demi peningkatan taraf hidup, harkat dan martabat petani Indonesia, diharapkan masyarakat (petani) dalam memilih pemimpin daerahnya (sesuai harapan otonomi daerah itu sendiri) harus selektif dan secerdas mungkin karena otonomi daerah memang dibutuhkan pemimpin yang pro-pertanian (Ingat…. Indonesia adalah negeri super agraris), serta perlu adanya lembaga yang mampu memberdayakan dan mensejahterahkan kehidupan para petani dan keluarganya. Hidup petani Indonesia, maju pertanian organic Indonesia.

Rabu, 28 April 2010

Sampah dan Lingkungan


Antisipasi Masalah Lingkungan Perkotaan

By; Asrul Hoesein, Pendiri Gerakan Indonesia Hijau


Dalam membahas berbagai masalah perkotaan, khususnya masalah lingkungan yang akhir-akhir ini terasa semakin kompleks, rumit, dan semakin mendesak untuk segera diselesaikan. Kita semua memang perlu terus menerus berupaya guna menanggulangi persoalan perkotaan yang semakin pelik tersebut. Oleh karena itu, justru itu perlu kiranya memicu para pihak, baik pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan para pakar untuk melahirkan ide-ide segar yang dapat diterapkan guna menyelesaikan persoalan perkotaan mulai dari pengangguran, kemiskinan, polusi udara, persampahan dan lainnya di Indonesia, khususnya dalam mengatasi pencemaran lingkungan.


Sekitar setengah populasi dunia hidup di perkotaan, padahal setengah abad yang lalu hanya sepertiga penduduk tinggal di kota. Diperkirakan sekitar seperempat abad mendatang penduduk perkotaan akan menjadi dua pertiga di seluruh belahan dunia ini. Beban kota akan semakin berat manakala pengangguran dan kemiskinan masih mewarnai kehidupan kota. Urbanisasi dan segala dampaknya (terutama terhadap lingkungan hidup) adalah suatu konsekuensi pilihan pembangunan yang berorientasi pada kota atau dikenal dengan terminologi Urban Bias (Lipton, 1997). Hal ini sebagaimana yang diramalkan pula oleh pemikir terkemuka pertengahan abad 19, Karl Polanyi, yaitu apa yang dikenal sebagai the Great Transformation.


Urbanisasi adalah konsekuensi logis dari konsep pembangunan yang sematamata mengejar pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dimana terjadi akumulasi sentra-sentra pertumbuhan. Urbanisasi di negara maju pada umumnya diiringi oleh pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, namun berbeda halnya dengan negara berkembang. Di Afrika, lebih dari 70% penduduk perkotaannya hidup di daerah kumuh yang rentan terhadap lingkungan. Kualitas air yang buruk dan tidak layaknya sanitasi adalah biasa ditemukan di daerah kumuh yang dapat menyebabkan berbagai penyakit yang terkait dengan air. Salah satu contoh adalah Diare, yaitu suatu penyakit yang merupakan pembunuh kedua dari anak dan diperkirakan menyebabkan 12 % kematian anak balita di negara berkembang dengan laju 1,3 juta tiap tahunnya. Kondisi ini diperparah dengan polusi udara, yaitu sekitar 2 juta anak balita mati tiap tahunnya akibat infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Belum lagi masih buruknya penanganan sampah; serta banjir yang seringkali menelan banyak korban.


Kondisi perkotaan yang masih sangat memprihatinkan ini menyebabkan pada tahun 2005 yang lalu, United Nations Environment Programme (UNEP) menetapkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan tema Green Cities, Plan for the Planet!. Tema tersebut sampai saat ini masih relevan dan dapat dijadikan momentum lagi bagi upaya-upaya kita untuk mengatasi permasalahan lingkungan perkotaan sekaligus membangun kota-kota di Indonesia secara berkelanjutan.


Gambaran umum status lingkungan hidup perkotaan di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas dari 32 sungai besar di 33 provinsi sudah tidak memenuhi kriteria mutu air untuk air baku air minum serta terjadi pendangkalan dan penyempitan sungai. Selain daripada itu sering terjadi banjir, ironinya, pada musim kemarau terjadi juga penyusutan luas permukaan air dan defisit air. Hal ini terutama disebabkan oleh berubahnya fungsi daerah resapan di hulu Contohnya Citra Landsat tahun 2001 menunjukan telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5 % dari ketentuan mengenai penataan ruang kawasan Bogor-Puncak–Cianjur. Sementara itu, kualitas udara di daerah perkotaan terutama kota besar cenderung semakin tidak sehat, terutama disebabkan kendaraan bermotor dengan konsumsi pertumbuhan konsumsi BBM sekitar 7%. Kondisi ini diperparah oleh kemacetan, yang menurut salah satu studi menyebutkan telah terjadi pemborosan konsumsi BBM sedikitnya 20% yang selanjutnya menyebabakan meningkatnya pencemaran udara. Lebih lanjut, kondisi persampahan rata-rata di Indonesia juga masih buruk. Hal ini terlihat dari sebagian besar kota yang masih kotor. Menurut data BPS (2001), kurang dari 2% sampah yang diolah atau di daur ulang, serta hanya sekitar 40% sampah diangkut, itu pun hanya sebagian yang dibuang ke TPA. Kondisi ratarata TPA di Indonesia masih buruk dan berpotensi menimbulkan permasalahan yang semakin sulit. Masalah sampah telah menjadi isu nasional, karena selain telah menelan korban jiwa yang cukup banyak dan menimbulkan konfliks social yang hingga kini masih belum dapat diselesaikan secara tuntas, ternyata dimensinya tidak hanya menyangkut aspek teknis, melainkan mencakup hubungan antar pemerintah daerah, kemiskinan penduduk, dan mindset para pengambil keputusan yang masih konvensional serta kepedulian dan komitmen kita semua yang masih lemah. Kita semua terkejut dan hampir tidak percaya sewaktu mendengar peristiwa Leuwigajah. Kitapun kembali kaget, heran dan ikut merasakan penderitaan para korban, sewaktu mendengar berita terjadinya peristiwa Bantar Gebang. Namun kenyataan hingga saat ini, kita semua belum beranjak dari perilaku lama yang menganggap urusan sampah adalah urusan gampang, cukup dibuang jauh dari halaman kita (end of pipe), masih terjebak pada syndrom NiMBY, serta masih terlena dengan pendekatan ke-proyekan.


Upaya mengatasi permasalahan perkotaan yang sedemikian pelik haruslah tetap dipandang dengan sikap optimis. Saat ini kita menyadari bahwa kita telah terlanjur pada pilihan pembangunan perkotaan yang kurang tepat. Dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan maka selayaknya Indonesia tidak harus mengikuti pola dari negara-negara maju. Kalaupun bukan yang pertama, Indonesia dapat menerapkan konsep pembangunan perkotaan berkelanjutan secara cerdas, holistik, inovatif dan partisipatif. Pada tatanan kebijakan, perlu dilakukan mainstreaming pembangunan berkelanjutan dalam setiap upaya pembangunan misalnya eksploitasi sumber daya alam dan pemanfaatan ruang yang berbasis ekologis, kampanye hemat energi dan energi alternative terbaharukan, serta mendorong terbangunnya infrastruktur lingkungan hidup diperkotaan, seperti sewerage system dan TPA berbasis usaha komunal. Sedangkan dalam tataran pelaksanaan, strategi yang ditempuh adalah dengan pengembangan sistem penaatan, baik dalam koridor penegakan hukum dan HAM maupun dengan cara persuasif inklusif (incentive mechanism). Penaatan norma lingkungan hidup dalam kerangka supremasi hukum dilakukan secara komprehensif, yaitu dengan konsisten menjalankan UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang berlandaskan pada prinsip-prinsip 3P; peningkatan pendayagunaan aparat (PPNS), prasarana dan sarana penegakan hukum lingkungan; serta pengembangan Jejaring Penegakan Hukum Lingkungan.

Seiring dengan peningkatan dan pengembangan penegakan hukum lingkungan maka, Kementerian Lingkungan Hidup telah menawarkan langkah inovatif melalui berbagai program. Dua program unggulan KLH, yaitu Langit Biru dan ADIPURA merupakan upaya strategis untuk mewujudkan lingkungan perkotaan yang berkualitas baik, sehat dan berkelanjutan. Program Langit Biru yang antara lain dilaksanakan melalui penggunaan bahan bakar dan penggunaan kendaraan yang berteknologi ramah lingkungan perlu diperluas dan didukung oleh semua pihak. Upaya yang dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas udara yang lebih baik (Better Air Quality) tersebut sungguh sangat nyata manfaatnya, karena dapat mengurangi dampak serius bagi kualitas / kesehatan manusia seperti menurunnya IQ, gejala autis dan anemia, kemandulan/keguguran dan agresivitas remaja. Tidak kurang pentingnya adalah peningkatan perhatian terhadap masalah kebisingan, karena secara nyata juga telah menimbulkan gangguan kejiwaan yang serius.

Awal abad XXI ini persoalan lingkungan telah bertambah semakin rumit. Persoalan lama masih banyak yang belum berhasil diselesaikan seperti sampah/MSW dan bencana alam yang telah menimbulkan dampak lingkungan, namun isu-isu baru (emerging issue) telah muncul, antara lain persoalan e-waste, B-3 dan perubahan iklim yang berdampak serius terhadap kesehatan manusia. Persoalan-persoalan baru tersebut telah menambah kerumitan permasalahan di kawasan perkotaan, karena sebagian besar sumbernya justru di wilayah perkotaan. Tuntutan hidup di perkotaan telah menimbulkan gaya hidup yang serba cepat dan menuntut penggunaan fasilitas modern seperti alat-alat elektrik dan elektronik serta konsumsi energi yang terus meningkat yang ternyata telah menimbulkan dampak negatip serius bagi kehidupan umat manusia. Upaya untuk mewujudkan clean land, clean water dan clean air di daerah perkotaan perlu terus dilakukan, karena kualitas lingkungan yang buruk telah menimbulkan dampak serius bagi kehidupan manusia. Salah satu hasil kajian menunjukkan bahwa akibat lingkungan yang buruk, masyarakat miskin Indonesia terpaksa harus membelanjakan dana yang sangat besar (sekitar 43 triliun rupiah) untuk biaya pengobatan yang semestinya dapat di dayagunakan untuk keperluan yang lebih produktip dan bermanfaat langsung bagi peningkatan kualitas kehidupannya.


catatan :

Bagi pemerintah Kab/Kota di Indonesia yang bermaksud mengelola TPS atau TPA dengan sistem se-desentralisasi> untuk negara kita (Indonesia) sistem ini yang paling ideal (pengelolaan melibatkan langsung masyarakat komunal) silakan kontak cv. GHM farm Tech, kami siap menginisiasi sistem sentralisasi desentralisasi (se-Desentralisasi) ini, dengan pola usaha (Inti Plasma) ..... Sekedar Ingat buat pemerintah Kab/Kota di Indonesia, bahwa sisa 7 tahun lagi, cara open dumping dalam pengelolaan sampah di TPA harus ditinggalkan (sebagaimana UU No.18 tahun 2008, tentang Pengelolaan Sampah). [rul_28042010.GIH_Lingkungan]


Segera hubungi kami :

Kontak person :

Ria Mailangkay (081277136729)

H.Asrul Hoesein (085215497331)

Tempat Sampah Berseka® Classified Trash Bin [ C ]


Tempat Sampah Berseka® ClassifiedTrash Bin [C]


Sampah yang menumpuk dan membusuk didekat tempat hidup manusia dapat menjadi sarang penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia baik fisik maupun jiwa. Sampah juga mengganggu estetika lingkungan karena mengkontaminasi pemandangan dengan tumpukan sampah dan bau busuk yang menyengat. Dalam mengelola sampah sebaiknya gunakan tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan:
-------------------------------------
1. Pisahkan sampah kering hasil indutri ( anorganik) dengan sampah basah alami (organik) . Maksud pemisahan ini karena sampah organik akan membusuk dalam waktu kurang dari 24 jam (jika tanpa aerasi yang baik) dan jika digabung dengan sampah anorganik, akan mencemari bahan yang seharusnya bisa didaur ulang sendiri maupun oleh pihak lain,
------------------------------------
2. Tempat sampah harus terhindar dari sinar matahari langsung, hujan, angin, dan lainnya.
-------------------------------------
3. Tempatkan tempat sampah dengan jarak beberapa cm dari lantai guna menghindari jangkauan binatang atau serangga seperti kecoa, lalat, belatung, tikus, kucing, semut, dan lain-lain.
-------------------------------------
4. Buang sampah dalam kemasan terbuat dari plastik yang tertutup rapat agar tidak mudah berserakan dan mengeluarkan bau yang tidak sedap, juga memudahkan dalam pengambilan sampah.
-------------------------------------
5. Agar selalu aman dari gangguan, tempat sampah harus tertutup, namun tetap harus mudah dijangkau untuk menjaga kebersihan maupun upaya daur ulang sampah melalui pengomposan.
-------------------------------------
Tempat Sampah terpisah TST) BerSeka® Trash Bin [ C ] ini terbuat dari TONG berbahan fiber resin dan Rangka Besi siku berdiameter 2, 2 cm dan ketebalan 2 mm sehingga kokoh dan kuat untuk ditempatkan di dapur, halaman maupun kantor ( indoor) . Dimensi PLT rangka besi = (69 x 35 x 44) cm dan dimensi tabung ( diameter atas = 36 cm dan d bawah = 27, tinggi = 34 cm) kapasitas = 6 galon atau setara 25 liter. Pengiriman bisa diringkas karena dibuat secara diurai (knock down) , jarak antar ruang juga bisa digeser guna memudahkan penggantian wadah dengan beberapa ukuran.
------------------------------------
Pengiriman bisa diringkas karena dibuat secara diurai knock down) , jarak antar ruang juga bisa digeser guna memudahkan penggantian wadah dengan beberapa ukuran apabila pelanggan ingin menggantinya dengan wadah tersedia di pasaran.

Negara Asal:Indonesia
Harga:Rp 6.950.000,- per 10 Unit ( Loco Bandung)
Cara Pembayaran:Transfer Bank (T/T)
Jumlah:Per 10 Unit
Kemas & Pengiriman:Plactic PE 1 mm